Sabtu, 13 Maret 2010

DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane)

DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane)


DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) adalah salah satu pestisida sintetis. Ini merupakan bahan kimia yang panjang, unik, kontroversial. DDT disintesis oleh Paul Hermann Muller (1899-1965) dari Swiss pada tahun 1934. Semasa Perang Dunia II, DDT dipandang sebagai “dewa penolong” yang menyelamatkan prajurit dari serangan malaria. Dengan dosis kecil dari DDT maka hampir semua jenis serangga dapat dibunuh dengan cara mengganggu sistem sarafnya. Pada waktu itu, DDT dianggap sebagai alternatif murah dan aman sebagai jenis insektisida bila dibandingkan dengan senyawa insektisida lainnya yang berbasis arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang menyadari kerusakan lingkungan yang meluas akibat pemakaian DDT (Tomi Rustamiaji, 2008).

Sepanjang tahun 1950-an, DDT digunakan di seluruh dunia untuk memberantas serangga. Akan tetapi pada tahun 1960-an, DDT mulai menampakkan belangnya sebagai zat pencemar yang berbahaya. Serangga mulai resisten terhadap DDT (Krizano, 2009).

Residu DDT pada tanah diserap oleh rumput, lalu rumput dimakan sapi, dan air susu yang diperas dari sapi diminum oleh manusia. Ternyata DDT yang sukar terurai itu menimbulkan bahaya dalam tubuh manusia, antara lain: merusak sel saraf dan menghambat metabolisme kalsium yang penting untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Bahkan ada bayi yang meninggal karena keracunan DDT ketika menghisap susu ibunya. Serangga yang resisten dan banyak mengandung DDT dalam tubuhnya ternyata dapat meracuni burung yang memakan serangga tersebut. Itulah sebabnya banyak negara yang telah melarang pemakaian DDT atau sangat berhati-hati dalam penggunaan insektisida tersebut (Krizano, 2009).

Pestisida lain yang kini banyak dipakai adalah ester metil karbamat, yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme. Dalam bidang industri, metil karbonat diperoleh dengan cara mereaksikan gas metal isosianat dan air (Krizano, 2009).

Pada tahun 1962, telah diterbitkan buku Silent Spring oleh American biologi Rachel Carson, yang berisi dampak lingkungan dari sembarangan penyemprotan DDT di Amerika Serikat dan pertanggungjawaban logika yang melepaskan banyak bahan kimia ke dalam lingkungan tanpa pemahaman mereka terhadap ekologi atau kesehatan manusia. Buku itu mengatakan bahwa DDT dan pestisida dapat menyebabkan kanker dan pertanian yang mereka gunakan merupakan ancaman bagi satwa liar, terutama burung. Silent Spring akhirnya membuat masyarakat menyadari bahwa DDT pantas dilarang di AS pada 1972. DDT kemudian dilarang digunakan untuk pertanian di seluruh dunia di bawah Konvensi Stockholm (Wikipedia).

Pada bulan Juli 1998, perwakilan dari 120 negara bertemu untuk membahas suatu fakta PBB yang melarang penggunaan DDT sebagai insektisida dan 11 bahan kimia lainnya secara global pada tahun 2000. Amerika Serikat dan negara-negara industri lain menyetujui pelarangan ini karena bahan-bahan kimia ini adalah senyawa kimia yang persisten dimana senyawa-senyawa ini dapat terakumulasi dan merusak ekosistem alami dan memasuki rantai makanan manusia. Namun banyak negara tidak setuju dengan pelarangan DDT secara global karena DDT digunakan untuk mengkontrol nyamuk penyebab malaria. Malaria timbul di 90 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan merupakan penyebab kematian dalam jumlah besar terutama daerah ekuatorial Afrika (Tomi Rustamiaji, 2008).

Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 2,5 juta orang tewas setiap tahun akibat malaria dan ini kian terjadi di berbagai belahan dunia. Namun karena DDT begitu efektif dalam mengontrol nyamuk penyebab malaria, banyak ahli berpikir bahwa insektisida menyelamatkan lebih banyak jiwa dibandingkan bahan kimia lainnya (Tomi Rustamiaji, 2008).

DDT adalah insektisida organochlorine, mirip dalam struktur dicofol dan pestisida methoxychlor, sangat hydrophobic. DDT hampir tidak larut dalam air tetapi akan larut dengan baik pada larutan organik, fats, dan minyak. DDT tidak terjadi secara alami, namun dihasilkan oleh reaksi dari khloral (CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl) di hadapan sulfuric acid, yang bertindak sebagai katalisator (Wikipedia).

Seperti yang terlihat pada diagram, DDT (diklorodifeniltrikloroetana) adalah senyawa hidrokarbon terklorinasi. Tiap heksagon dari struktur ini terdapat gugus fenil (C6H5-) yang memiliki atom klor yang mengganti satu atom hidrogen. Namun, perubahan kecil pada struktur molekularnya dapat membuat hidrokarbon terklorinasi ini aktif secara kimia (Tomi Rustamiaji, 2008).

Sebagai suatu senyawa kimia yang persisten, DDT tidak mudah terdegradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana. Ketika DDT memasuki rantai makanan, ini memiliki waktu paruh hingga delapan tahun, yang berarti setengah dari dosis DDT yang terkonsumsi baru akan terdegradasi setelah delapan tahun. Ketika tercerna oleh hewan, DDT akan terakumulasi dalam jaringan lemak dan dalam hati. Karena konsentrasi DDT meningkat saat ia bergerak ke atas dalam rantai makanan, hewan predator lah yang mengalami ancaman paling berbahaya. Populasi dari bald eagle dan elang peregrine menurun drastis karena DDT menyebabkan mereka menghasilkan telur dengan cangkang yang tipis dimana telur ini tidak akan bertahan pada masa inkubasi. Singa laut di lepas pantai California akan mengalami keguguran janin setelah memakan ikan yang terkontaminasi (Tomi Rustamiaji, 2008).

Dengan memanipulasi molekul DDT dalam cara ini, kimiawan berharap untuk mengembangkan suatu insektisida yang efektif namun ramah lingkungan, dimana senyawa in akan mudah terdegradasi. Namun disaat bersamaan, para peneliti sedang menyelidiki cara lain untuk mengkontrol populasi nyamuk. Salah satu caranya adalah penggunaan senyawa menyerupai hormon yang menyebabkan nyamuk mati kelaparan, hingga dapat mengurangi populasinya hingga dapat mengurangi penyebaran malaria (Tami Rustamiaji, 2008).

CH3 - N = C = O + H2O CH3 - NH – COOH

metil isosianat metil karbamat (Krizano, 2009).

Agar kerjanya lebih ampuh, atom H pada gugus karboksil dapat diganti oleh gugus lain. Obat nyamuk di Indonesia umumnya mengandung salah satu turunan metil karbamat, yaitu isopropoksifenil metil karbamat (Krizano, 2009).

Akan tetapi, industri metil karbonat dapat menimbulkan bahaya jika para pekerja pabriknya ceroboh. Bahan bakunya, gas metil isosianat, sangat beracun. Pada bulan Desember 1984, pabrik insektisida di Bhopal, India, mengalami kebocoran tangki metil isosianat. Gas beracun ini menyebar ditengah malam ke segenap pelosok Bhopal, menewaskan 2.500 penduduk yang sedang tidur dan puluhan ribu orang yang keracunan gas itu menderita kebutaan atau gangguan saraf. Jelaslah bahwa pestisida selain sangat berguna, juga dapat menimbulkan efek negatife yang tidak kita inginkan (Krizano, 2009).

Daftar Pustaka

http://en.wikipedia.org/wiki/DDT

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090302044634AAFvwpG

http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_lingkungan/ancaman_ddt_di_abad_21/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar